Pengabdian Ibu

Sioux Woman and child
(Foto: Sioux Woman and Child)

#ShareIsCare kiriman dari Sandra Frans (@Sandrafrans)

(Disesuaikan dari http://tulisan-sandra.blogspot.com)

Pengobatan gratis, 17 mei 2011.

Ibu itu datang dengan mata kiri lebam. Ada genangan merah di bola matanya. Awalnya kupikir korban kekerasan dalam rumah tangga. Dia tidak sendiri, tangannya memegang tangan seorang lelaki. Lelaki yang tinggi besar, muka acak acakan, yang selalu tertunduk, dan wajah merengut terus. Sesekali menoleh ke ibu itu dengan ekspresi wajah hanya-mereka-yang-tahu kemudian kembali merenggut, menunduk, menarik narik tangan ibunya.

Aku tidak punya waktu banyak. Ini pengobatan massal, banyak pasien lain di luar sana. ‘ada apa ibu?’. Tanyaku, pertanyaan umum yang diberikan seorang dokter kepada pasien. Seperti sudah terprogram di otakku untuk menanyakan itu sebagai pembuka pembicaraan. Namun pertanyaan sederhana dengan kata kata yang biasa itu, ternyata berdampak besar buat si Ibu. Dia terlihat kebingungan harus mulai dari mana. Apa dari matanya, atau dari badannya yang linu linu, atau tentang hatinya yang capek, atau sakitnya laki laki yang sedang di pegang tangannya itu.



Sehingga saat itu, aku langsung tahu, sebenarnya yang diperlukan ibu itu bukan obat tablet, suntik, atau salep, dia hanya butut telinga. Telinga seseorang yang paham akan sakitnya komplikasi hidup yang sedang dia derita. Jadi aku, mencondongkan badanku ke depan meja, melipat kedua tanganku di meja, memasang mata yang empati. Dan cerita dia mengalir.

Pagi itu, si ibu berencana membawa anaknya ke pengobatan massal, karena sudah 3 hari ini Danu, nama anaknya, batuk batuk. Tapi seperti biasa, Danu selalu menolak jika mendengar kata berobat. Mungkin trauma karena sejak dia bisa mengingat, selalu dikelilingi mereka yang berpakaian putih putih. Danu melancarkan aksi pagi itu, jika dia di paksa, menjerit sambil mengeraskan tubuhnya. Andai Danu berusia 2 tahun, mungkin tak ada kesulitan bagi si ibu untuk memaksanya. Tapi Danu telah tumbuh menjadi anak atau masih pantaskah di sebut anak, berusia 22 tahun. Kata dokter, Danu memiliki tubuh dewasa dengan kepribadian anak anak yang terperangkap di situ. Selamanya Danu akan seperti anak kecil, yang hidup dalam dunianya sendiri, dengan tubuhnya yang akan mengikuti pertumbuhan normal, semakin besar dan kuat.

Jadi pagi itu, si ibu dengan susah payah, membujuk danu untuk bersiap ke sini. Danu tetap mengelak. Akhirnya ibu dengan kekuatan nya yang sudah mulai melemah termakan usia. Menyeret Danu ke kamar mandi, untuk membilas tubuhnya. Danu tetap berkeras, ibunya memukul, danu menangis. Danu semakin menjadi, tangannya mengibas ke kanan dan kekiri dengan kekuatan seorang lelaki dewasa, dan, tangan kanannya mengenai mata ibunya. Si ibu langsung terduduk, memegangi matanya yang sakit berdenyut. Danu sadar telah melukai. Berhenti memberontak dan sekarang duduk menangis.

Antara marah dan sakit ibunya duduk di kursi sambil memegangi matanya. Ini bukan pertama kali. Tapi tetap saja hatinya sakit jika dipukul anak sulungnya. Nafasnya memburu. Kemarahan semakin menyesak. Dia menangis. Sehingga di pojok kamar mandi itu, menangislah ibu dan anak dengan alasan berbeda. Si anak menangis karena tidak mau di ajak berobat. Si ibu menangis karena hati yang letih. Letih mengurusi seorang anak autis selama 22 tahun. Letih mengadu kepada Tuhan mengapa harus dia. Sehingga sepanjang 22 tahun ini, hidupnya mengabdi untuk mengurus anaknya. Tak lagi bekerja sepanjang hari. Danu tak bisa ditinggal lama. Meski begitu, dia masih menerima pukulan tak sengaja dari danu, selalu, dan tak diduga.

Jadi pagi itu, dengan niat dia awalnya berobat batuk untuk si Danu, menjadi bertambah keluhan utamanya. Mata lebam, badan pegal karena perkelahian itu, dan selalu hati yang letih. Ceritanya mengalir, kadang terpotong. Tapi dia terus berbicara. Aku mendengar. Dia tak perlu obat, dia hanya butuh telinga. Mungkin penguatan. Tapi teori macam apa yang bisa kuberikan. Toh, aku juga tidak punya pengalaman mengurus anak autis sehari sekalipun. Ibu itu sudah kuat. Kuat bertahan 22 tahun. Tidak perlu penguatan. Pada akhir ceritanya dia berkata, ‘yah mau gimana lagi dok, saya terima saja’.

Kalimat penutup itu, membuat aku mengerjap mata, karena aku tak boleh menangis di hadapan pasien. Aku mengacak rambut si Danu,berkata : ‘Danu, jangan nakal lagi ya’. Danu tetap tertunduk, tak ada reaksi, dan kembali menarik tangan ibunya. Aku member resep obat batuk buat danu, vitamin buat ibu. Meski aku tahu vitamin seberapa besar dosisnya sekalipun, tak akan dapat membantu pegal hati yang dia rasa.

Dia menyalamiku, ‘makasi dok’. Aku berkata: ‘ibu hebat ya, tetap kuat’. Ibu mengangguk. Aku terdiam.

Beberapa saat aku terenyak di kursi. Berpikir tentang ibu itu dan membandingkan dengan aku. Berpikit tentang kekuatan wanita yang terpancar lewat pengabdian tanpa pamrih, dengan bonus pukulan dan tendangan. Pengabdian 24 jam sehari 7 hari seminggu selama 22 tahun. Betapa aku begitu lemah disbanding si ibu.

Dalam hati aku hanya berdoa, ‘semoga Tuhan dengan kekuatannya yang ajaib dapat memberkati si Ibu, memberi penguatan, dan menjadi penopang kala si ibu lelah menjadi ibu.

###

Terima kasih atas kiriman baik #Shareiscare dari @SandraFrans. Semoga bermanfaat bagi kita semua.

Bagi Anda yang tertarik mengirimkan karya tulisan Anda, segera kirimkan ke kutipananda@ymail.com dengan subject #ShareIsCare dengan menyertakan profil Twitter Anda jika Anda berkenan.

Share Is Care

Pengabdian Ibu via @Kutipan_AndaTweet this!

No comments:

Post a Comment